A Glimpse(s) of Mid of The Year. [Bahasa]

Aline & Her #philocalist Stories.
10 min readAug 20, 2022

Match with Uncle B, menilik Braga, mengagumi bebatuan dan meromantisasi pinus.

Photo by Lucas Santos on Unsplash

“Kak Aline, aku mau ke Bandung pas ulang tahun”, ujar salah satu teman dekat, sebut saja Mr. E. Sisi spontanitasku langsung muncul ketika mendengar kata “Bandung” diucapkan olehnya. Tanpa berpikir panjang, aku pun mengatakan bahwa aku akan bergabung dengannya dan langsung memesan tiket kereta saat itu juga.

Seperti spontanitas nya si aquarian yang random, cerita kali ini akan ditulis dengan cara spontan, menggunakan bahasa yang santai dan apa-adanya, dengan sedikit bagian kata yang mungkin bisa di representasikan romantis atau untuk beberapa orang bisa dibilang lebay. Selamat membaca!

Photo by Hello I'm Nik on Unsplash

Cerita pertengahan tahun diawali dengan match with Uncle B. Salah satu orang yang ditemui melalui dating apps dan masih cukup intens membicarakan sisi kehidupan masing-masing sampai saat ini. No no no, he is not that old to be my sugar daddy that’s why I call him Uncle, It’s simply I just love to call him Uncle. Aaaand, If you think that we swiped right on the dating apps each other because we’re got attracted romantically to each other, you are wrong, readers! Here are the stories.

As you know, we’ve met through dating apps, so what is the opener?
His first sarcastic messages!

That’s got me well and it is the one who makes us get along until now — I think — because our silly jokes quite match and similar!

Long story short, kami banyak berbagi cerita mengenai beberapa hal yang lewat di kehidupan. Belum banyak memang, namun bagiku hal ini cukup untuk diceritakan sebagai caraku memaknai perjalanan hidup yang sangat amat baik dengan bertemu beliau. Aku cukup kaget saat aku tanyakan mengapa beliau memilih untuk swipe right di profilku, dan jawabannya cukup banyak, terperinci dan realistis! Wow, he is really the first person yang aku temukan, menggunakan dating apps dengan cara yang benar-benar baik. Tidak berhenti disitu, aku sebagai sosok yang terbiasa membangun boundaries yang tebal dan gelap, berkenalan dengan Uncle B membawa keceriaan dan kenyamanan tersendiri, terlebih saat berbagi cerita, hampir seluruh tembok tebal boundaries-ku melebur, pelan dan nyaman memperlihatkan sisi apa -adanya diriku di depannya. I feel so many positive vibes about him, walau belum pernah bertemu hingga saat cerita ini ditulis. He can be the best person who plays on his true part while throwing a pun at the same time. Hal lain yang membuat aku cukup senang berkenalan dan meneruskan hubungan baik dengannya adalah caranya yang selalu berusaha membawa pembicaraan 2 arah. Bukan hanya beliau, atau bukan hanya aku, atau pembicaraan melebar menjadi hal yang lebih umum — bahkan rumit, tanpa harus mempertanyakan opini masing-masing atas hal yang sedang dibicarakan, justru mendiskusikan hingga menjadi point of view yang baru. Semakin lama kenal, aku bisa mengatakan bahwa Uncle B adalah sosok yang bisa dibilang cukup berhati besar, open minded dan menyenangkan. Kesan dari cara Uncle B menghadapi segala bentuk ke-randomanku bercerita mengenai teka-teki hidup yang baru saja dipecahkan dengan caranya membaca pesanku dengan seksama dan merespon tanpa mengeluarkan blaming atau meninggalkan judgement seperti biasa yang aku dapatkan dari orang lain, terkadang tak pernah cukup dengan hanya aku syukuri. Caranya memanusiakan manusia itu membuatku memutuskan untuk menempatkan beliau sebagai sosok yang aku hargai secara mendalam — lebih dari sekedar dari tujuan meromantisasi lebih hubungan yang sudah ada, dan aku bersyukur atas perjalanan hidup yang mempertemukan kami.

Hei, Uncle B. If you read this, these are the most sincere words from the deepest of my heart. Thank you so much for the nice friendship. I am grateful that I can across this life journey and meet you in person, Uncle. I love you, even though you are a Geminian. Yes, I said that I love you but no no no, I am not asking for a romantic-relationship, please take that opinion out on your head away, narcissistic Geminian.

Foto jalan Braga, Bandung di pagi hari. Diambil oleh Taruno Etto.

Kembali lagi menyusuri jalanan di Bandung dengan hati penuh sukacita. Bagiku, Kota Bandung memiliki berbagai rekam jejak dari segala jenis perasaan. Dari menemukan hingga kehilangan, dari bahagia hingga sendu, dari kebisingan penuh suara hingga terdiam membisu.
Aku mengunjungi Jalan Braga dengan segala perkiraan, dengan segala rengkuh sikap dan hati yang hangat. Diawali dengan mencoba meletakkan beberapa memori yang sesekali muncul untuk sekedar dirasakan dan berkomitmen untuk membuat memori baru yang positif, baik dan indah. Namun tidak semudah itu, jalan Braga bersama dengan suguhannya cukuplah pelik — terkadang untuk aku maknai secara keseluruhan.
Aku melihat berbagai sosok kehidupan sosial yang beragam, namun bersatu dalam kesamaan — sama-sama berjuang atas hidup masing-masing sesuai dengan porsi yang bisa diusahakan. Di jalan Braga, aku bersama 4 teman, sebut saja Mr. E, Mr. K, Mr. A dan Ms. A, saling berbagi cerita dan pengalaman hidup yang kami temukan selama ini. Sembari mempertanyakan banyak hal yang menjadi sambi lalu pembicaraan, kami seolah bisa tenggelam jauh bersama keadaan Braga saat itu hingga seluruh kenangan yang kami bawa sebelumnya pelan-pelan meletakkan dirinya sendiri. Bagi kami berlima, jalan Braga memiliki cara magic nya sendiri kepada pengunjungnya. Sebagai contoh; saat tiba disana, awalnya aku memutuskan bahwa aku harus kembali ke satu restoran untuk menikmati classic ice cream yang pernah aku nikmati sebelumnya bersama orang yang berharga di kehidupanku, alih-alih mengenang, aku justru bisa melebur, berbaur menjadi satu dengan teman dan para pengunjung lain yang datang. Mr. K bercerita mengenai bagaimana pada masanya restoran itu menjadi salah satu restoran yang prestigious, dengan bentuk nyata memisahkan si kaya dan si miskin. Siapapun yang berkunjung, pasti menggunakan outfit terbaik mereka dan restoran menjadi bak hallway untuk fashion show. Namun saat ini, restoran tersebut bukan lagi gagah dengan pengunjungnya yang berkelas, melainkan melebur menjadi restoran yang mengumpulkan orang-orang berhati hangat untuk menciptakan kenangan menyenangkan, di tempat yang penuh dengan ornamen masa lampau dan segala ceritanya.

Tujuan utamaku menilik Braga yang awalnya menyusuri kenangan, spontan berubah menjadi membuat dan meletakkan kenangan baru. Seperti halnya pengunjung dari kota lain, kami berlima menyempatkan diri untuk berfoto bersama dengan background tulisan ‘jalan Braga’, spontan menyapa pedagang batagor yang sibuk dengan antriannya yang panjang, dan memuji bus kota yang mengelilingi kota Bandung — sebut saja Bandros. Thank you, Bandung! Thank you, Braga! I am feeling so much fun visiting you in this chapter of my life.

Salah satu karya seni yang di pajang di Wot Batu.

Bagiku, hidup dan seni adalah satu kesatuan dalam diriku. Sebagai seorang yang mengaku dirinya adalah sosok philocalist yang mana bisa diartikan sebagai seseorang yang mampu menemukan dan menghargai keindahan dalam segala hal, atau bisa juga disebut orang yang bisa menghargai dan memaknai hal-hal kecil, seni dan keindahan di mataku bisa berwujud apapun. Tentunya sebagai bentuk nyata, saat berada di Bandung aku menyempatkan diri untuk mengunjungi salah satu galeri seni bernama Wot Batu, sesuai dengan namanya, karya seni yang ada disana berupa instalasi bebatuan yang dirancang oleh seniman bernama Pak Sunaryo. Menurut Wikipedia, Wot Batu adalah sebuah konfigurasi energi yang hadir dari perjalanan spiritualitas dan transendental seniman Sunaryo. Dalam ruang terbuka seluas ±2000 m2 dengan rangkaian 135 +1, batu-batu ditanam dan ditata secara konseptual dan harmoni. Seniman Sunaryo menarik garis dari pegunungan di sekitar Bandung, dan dari garis itu dibawanya batu-batu vulkanik sebagai medium mahakarya yang tak lekang oleh waktu. Setiap pahatan, tatahan, dan pecahan bukanlah hasil dari usaha untuk mengubah batu, namun untuk menorehkan catatan untuk sebuah peradaban — warisan dari abad ke-21 untuk masa yang akan datang.

Seniman Sunaryo menciptakan Wot Batu sebagai ‘jembatan spiritual’: penyeimbang antara jiwa manusia dengan wujud ragawi kehidupan, sebagai penghubung di antara empat elemen alam. Dalam Wot Batu, tanah, api, air dan angin berbicara satu sama lain dalam harmoni. Wot Batu menyampaikan gagasan tentang ruang dan waktu — sebuah penyadaran tentang eksistensi manusia dalam dimensi alam yang tak berbatas.

Dari penjelasan itu sudah cukup jelas bahwa Wot Batu memberikan pesan kehidupan yang bisa di representasikan secara luas oleh masing-masing pengunjungnya. Bagiku sendiri, keseluruhan yang ada di Wot Batu mulai dari ornamen, tatanan, musik bahkan suasana khas pegunungan yang sejuk sungguh bisa menyatu dan sangat meditatif. Saat disana, aku menyempatkan diri untuk duduk, merasakan ketenangan, meresapi pesan kehidupan yang disampaikan secara tidak langsung. Semakin lama semakin dirasakan bahwa Wot Batu memiliki cara untuk mengajak dalam keadaan zen dengan khas magisnya sendiri dan berinteraksi langsung dengan siapapun yang meniliknya. Masing-masing instalasi bebatuan disana memiliki pesan yang berbeda dan bagiku sendiri, proses untuk mengolah pesan itu cukup memakan waktu lama karena pemaknaannya yang luas dan cukup kompleks.

I am in love with you, Wot Batu. Really.

Photo by Dušan veverkolog on Unsplash

Perjalanan di Bandung yang sarat akan makna membuatku menuliskan hal ini, salah satu hal yang aku ceritakan kepada Uncle B sesaat setelah hal yang dialami terjadi, dan kali ini aku akan menceritakan dengan bahasa yang lebih umum.

“Oh jadi gini rasanya setelah menerima diri sendiri, diterima juga diantara mereka yang selama ini menganggap aku berbeda dan buruk. Oh gini rasanya diterima seapa-adanya.” — kataku kepada Uncle B setelah aku selesai menceritakan hal yang baru saja terjadi.

Aku sedang dalam mood untuk meromantisasi seluruh pertemuanku dengan apapun dan siapapun yang aku temui saat perjalananku di Bandung pertengahan tahun ini. Salah satu hal yang cukup aku romantisasi secara mendalam adalah ketika aku mulai bisa membuka diri dan hati selebar-lebarnya untuk hal yang masih aku takuti jika harus berhadapan secara langsung. Jika dikatakan menghadapi bentuk trauma, mungkin iya. Namun tidak sepenuhnya iya karena bagiku sendiri tidak ada kejelasan apa dari penyebab trauma itu. Sebagai orang yang tumbuh dan dibentuk dengan lebih banyak goresan tinta yang pedih daripada lukisan cat yang indah, ada kalanya perasaan dan konstruksi pikiran bahwa ‘aku kecil’ atau ‘aku tidak layak’ muncul berkali-kali ketika melihat sesuatu yang besar dan dekat. Aku dikucilkan, namun aku tidak marah. Aku mengurung diri, namun aku bersedia untuk tertawa di lain hari. Hal yang cukup kompleks untuk dipahami lebih lanjut. Dan dari hal kompleks inilah, aku merasakan sebenar-benarnya penerimaan atas diri sendiri dan terus hidup dengan baik walau harus berdampingan dengan rasa takut.

Aku dihadapkan dengan situasi yang kontradiktif bagiku saat itu, satu situasi mengatakan bahwa aku harus menjalani norma pada umumnya namun tidak tertulis, dan satu situasi lain mengatakan bahwa aku tidak sepenuhnya siap mental dengan isi kepala penuh dengan beberapa asumsi. Alih-alih mencari solusi, pada awalnya aku justru malah menghindar dan menjauh, memilih untuk tidak bersinggungan sama sekali. Semakin lama semakin sadar bahwa hal yang aku lakukan bukanlah hal yang semestinya dilakukan, atau hal yang melegakan, atau bahkan hal yang menyembuhkan, justru yang aku lakukan adalah hal yang memberatkan diriku sendiri.

Sesaat setelah menyadari, aku membalikkan fokusku kepada hal yang lebih positif. Daripada aku meneruskan kepercayaan bahwa aku tidak layak dan asumsi-asumsi buruk yang belum tentu terjadi, aku berusaha untuk mengajak keseluruhan dari diriku untuk menerima sedalam-dalamnya, mengatakan bahwa hal yang besar dan mungkin bisa menginjakku, belum tentu akan terjadi. Kalaupun hampir terjadi, aku setidaknya sadar dan bisa beralih tempat berdiri. Meyakini bahwa pemikiran ‘aku tidak layak’ adalah konstruksi yang aku buat sendiri, maka dari itu aku perlu berkaca dan melihat seberapa panjang perjalananku memaknai hidup, seberapa banyak usahaku untuk membiasakan ikhlas dan penuh syukur dan seberapa banyak waktu yang digunakan untuk mengedukasi diri sendiri supaya bisa hidup lebih baik.

Setelah proses singkat usaha untuk menerima diri sendiri, saat dirasa siap dengan penuh kepercayaan diri dan keberanian, mulailah aku berbalik untuk melihat sesuatu yang besar dan dekat itu. Benar, tidak seperti sebelumnya yang melihat hal tersebut bak monster yang menakutkan dan siap menerkamku, aku melihatnya bak pohon pinus yang hijau, menjulang tinggi dan menjatuhkan bunga-bunga kering yang cantik untuk aku jadikan pajangan indah dalam hatiku. Hal besar itu bukan lagi hal yang bergerak dan menakutkan, melainkan hal yang berdiri sendiri dan memberi teduh kepada siapapun yang lebih kecil.

Hal besar itu tidak lagi menghujani dengan air yang dingin, melainkan memberikan atap yang hangat.

Photo by Heidi Fin on Unsplash

Memasuki bagian penutup pada tulisan ini, yang pastinya tidak akan ada kesimpulan. Semua pemaknaan perjalananku bisa diartikan berbagai macam sesuai dengan pembacanya, bahkan mungkin pemaknaannya akan berbeda bagiku sendiri di masa depan saat aku kembali membaca ini. Terima kasihku yang cukup mendalam kepada Uncle B yang sampai pagi ini masih bersedia baku hantam denganku mengenai mana yang lebih baik antara gemini dan aquarius. Terima kasih juga untuk Mr. A dan Mr. E, dua kesayangan aku yang alay bareng di Braga bak turis, yang salah satu dari mereka saat ini sedang membelaku setelah aku kena bully dari orang yang tidak dikenal. Terima kasih kepada Mr. K, pada hari terakhir aku di Bandung sesi ini bersedia mengenalkan salah satu karya seniman lama dan mengajakku makan jajanan lokal. Untuk Ms. A, terima kasih juga untuk setengah hari sabtu yang diluangkan untuk menjelaskan kepada kami bagaimana Bandung saat ini. Last but not least, I thank YOU all, readers! Semoga ada hal baik yang bisa dipetik dari tulisan ini. Aku membuka kritik dan saran apapun, kolom komentar, DM instagramku dipersilakan!

The journey is never ending. There’s always gonna be growth, improvement, adversity; you just gotta take it all in and do what’s right, continue to grow, continue to live in the moment. — Antonio Brown

--

--

Aline & Her #philocalist Stories.

A beginner writer and survivor who trying to live life every minute. I am sharing my life portfolios here with a heart full of gratitude. Happy reading! ❤️😊